Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Alumni PMII& Wasek PW LP Ma`arif Provinsi Lampung
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI MASA LALU
Isu-isu utama dalam paradigma baru pendidikan nasional dapat dirangkum dalam pengertian demokratisasi pendidikan. Demokratisi pendidikan, dengan demikian mencakup berbagai aspek antara lain desentralisasi, perencanaan dan manajemen pendidikan, pengembangan pendidikan tinggi, partisipasi masyarakat, dan sebagainya.
Buku “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” karangan HAR Tilaar membahas aspek-aspek dalam demokratisasi pendidikan. Di masa lalu, terutama pada Pra Orde Baru, pendidikan sering dijadikan alat indoktrinasi dan sangat kental dengan kepentingan politik. Pendidikan tidak diorientasikan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Nasionalisme menjadi terperangkap dalam makna yang sempit. Praktek pendidikan yang indoktriner menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Metodologi pendidikan dengan cara indoktriner memasuki semua jenjang pendidikan.
Pada masa Orde Baru, pendidikan dijadikan sebagai alat penyeragaman-penyeragaman di bidang politik. Hasilnya adalah uniformitas atau keseragaman dalam pola berpikir dan bertindak. Contoh kongkret model pendidikan seperti ini adalah pakaian seragam dan wadah-wadah tunggal organisasi. Masyarakat dengan sendirinya bersifat homogen, lamban, kurang kreatif dan produktif, dan birokrasi kaku.
Singkatnya, pendidikan semacam ini mematikan demokrasi. Hak asasi manusia sering terlanggar demi alasan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Komunikasi politik terhambat karena dominasi suara penguasa. Akibat pendidikan yang mematikan demokrasi seperti ini adalah pemerintahan yang tidak bersih, syarat KKN. Kualitas kehidupan beragama menjadi semu. Moralitas pemimpin merosot, dan toleransi kehidupan beragama luntur. Praktek pendidikan pada masa Orde Baru menonjolkan pencapaian target kuantitatif. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah, karena hanya ditentukan oleh penguasa. Pendidikan hanya dipandang sebagai produk birokrasi, dan peranan keluarga serta masyarakat semakin berkurang.
Sejarah panjang pendidikan pada masa Pra Orde Baru dan masa Orde Baru, telah mengantarkan masyarakat Indonesia mengalami krisis, yang bertalian juga dengan krisis ekonomi dan politik pada akhir tahun 1990-an. Masa krisis itulah yang dapat dipandang sebagai refleksi atas kegagalan pendidikan nasional. Para pemimpin dan pemerintah kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya.
PENDIDIKAN NASIONAL DI ERA REFORMASI
Bertolak dari pengalaman praktek pendidikan di masa sebelmunya, maka di era reformasi praktek pendidikan mengalami perubahan paradigma. Masyarakat yang ingin diciptakan adalah masyarakat yang adil, makmur, dan tegaknya supremasi hukum. Itulah yang disebut masyarakat madani, suatu bentuk ideal masyarakat yang demokratis. Masyarakat madani dicirikan oleh beberapa hal; antara lain adalah masyarakat yang demokratis, tegaknya hukum, tatanan sosial yang memberikan kesempatan berkembang bagi individu dan lembaga-lembaga sosial yang membuka dari untuk partisipasi dari masyarakat dan mengembangkan potensi anggotanya. Kehidupan bersama dalam masyarakat demokratis adalah kehidupan antar-generasi yang berkesinambungan. Lembaga-lembaga sosial memungkinkan terjadinya keberlanjutan itu, misalnya dalam hal lingkungan hidup, kebudayaan, masalah kependudukan, dan kerukunan hidup antar-bangsa.
Pendidikan pada era ini ditandai dengan keinginan yang sangat kuat untuk mewujudkan masyarakat madani. Suatu masyarakat madani yang bertumpu pada kebudyaaan Indonesia, berproses berkelanjutan, dan bertumpu pada kebhinekaan. Ciri-ciri masyarakat madani tersebut harus dijabarkan pula dalam praktek pendidikan.
Praktek pendidikan nasional yang pada kenyataannya dapat digolongkan dalam tiga lingkungan, yaitu; pendidikan formal, pendidikan non-formal, dan pendidikan informal. Pendidikan nasional sudah seharusnya mengintegrasikan ketiga lingkungan pendidikan tersebut dalam rangka mengantisipasi perkembangan global.
Dewasa ini pendidikan in-formal, justru menempati peranan yang semakin strategis. Pendidikan telah mengglobal menembus batas-batas geografis. Budaya cyber, mengharuskan pula proses pendidikan yang memanfaatkan keunggulan-keunggulan cyber. Penulis buku ini mengajukan tesis untuk meninjau ulang rumusan sistem pendidikan dalam UU pendidikan, yang kurang memberikan pengakuan para peranan pendidikan informal.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru, maka pendidikan menghadari beberapa tantangan, yang dapat dikelompokkan dalam tantangan yang bersifat internal, maupun eksternal. Tantangan yang bersifat internal antara lain adalah yang menyangkut isu-isu;
- persatuan bangsa; kebanggaan menjadi bangsa Indonesia, bangga dengan kebudayaan Indonesua, dan adanya keteladanan dari para pemimpin
- demokratisasi; adalah bagaimana menghargai hak dan potensi setiap individu dan mengembangkannya; menghargai harkat dan martabat manusia.
- desentralisasi; pendidikan yang memberdayakan masyarakat lokal dengan penggunaan sumber-sumber daya setempat, kurikulum nasional hanya sebagai guideline.
- kualitas pendidikan; perlunya mengembangkan seluruh spektrum inteligensi manusia yang meliputi berbagai aspek kebudayaan, kunci utama peningkatan kualitas adalah para guru sehingga perlu reformasi mendasar pendidikan guru dan penghargaan yang semestinya terhadap profesi guru.
Sedangkan tantangan yang bersifat global meliputi beberapa isu antara lain;
- pendidikan yang kompetitif dan inovatif; persaingan membutuhkan manusia-manusia yang berkualitas, yang untuk itu dihasilkan oleh pendidikan yang kondusif pula. Pribadi kompetitif bukan pribadi egoistik, tapi berkemampuan bekerjasama secara sehat. Selanjutnya adalah kemampuan menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan inovatif. Kompetitif dan inovatif menjadi paradigma baru pendidikan di berbagai negara di dunia. Pendidikan di Asia paling dikenal sebagai pendidikan yang tidak mengembangkan sikap kompetitif dan inovatif.
- identitas lokal; globalisasi merupakan sesuatu yang niscaya terjadi, sehingga diperlukan identitas bangsa, yaitu kebhinekaan budaya Indonesia itu sendiri. Kesadaran akan identitas budaya nasional menjadi landasan perkembangan pribadi peserta didik sekaligus melindungi dari pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global. Dalam keadaan tanpa identitas, maka akan sangat mudah dihanyutkan oleh arus globalisasi yang menjurus pada tindakan destruktif. Pendidikan nasional diarahkan pada perdamaian dunia. Reformasi pendidikan memerlukan komitmen politik kongkret dan berkelanjutan.
REPOSISI DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN NASIONAL
Paradigma baru pendidikan nasional yaitu membentuk masyarakat demokratis, kompetitif dan inovatif, dan berkualitas. Untuk itu pendidikan mengembangkan kebhinekaan menuju terciptanya masyarakat yang bersatu dan bangga sebagai bangsa Indonesia. Program pendidikan harus dijabarkan dalam berbagai program pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan.
- Redefinisi pendidikan nasional mencakup pengakuan akan pentingnya pendidikan informal.
- Pendidikan adalah proses pemberdayaan
- Pendidikan adalah proses pembudayaan
Reaktualisasi pendidikan nasional menuntut penerapan prinsip-prinsip:
- Partisipasi masyarakat; otonomi lembaga pendidikan dan fungsionalisasi kurikulum nasional yang tepat
- Sumber daya manusia yang profesional
- Sarana dan sumber daya pendidikan penunjang yang memadai
- Aktualisasi sistem pendidikan yang sesuai dengan jiwa desentralisasi.
Penulis buku ini mengungkapkan bahwa pembangunan di era Orde Baru adalah pembangunan tanpa perasaan. Pencapaian pembangunan di bidang ekonomi hanya dinikmati oleh sekelompok kecil anggota masyarakat. Perkembangan ekonomi dicapai melalui program-program yang menjadikan manusia sebagai alat untuk target-target ekonomi dan menyuburkan kekuasaan.
Mengutip pendapat para ahli (Hikam, 1996) buku ini menguraikan ciri-ciri masyarakat madani Indonesia (civil society) antara lain:
- Kesukarelaan; komitmen mewujudkan cita-cita bersama
- Keswasembadaan; tidak tergantung pada negara lain, percaya diri dan bertanggungjawab
- Kemandirian masyarakat yang tinggi terhadap negara
- Kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum yang dipatuhi bersama
Realitas kehidupan masyarakat Indonesia kini adalah sangat beragam. Keragaman budaya ini menjadi potensi lahirnya sukuisme dan pandangan-pandangan sempit yang dapat membahayakan kesatuan bangsa. Meskipun demikian kehidupan nyata bukanlah mengasingkan individu dari lingkungan budayanya. Jadi identitas sebagai bangsa Indonesia harus menjadi kesadaran bersama dan kebanggaan bersama.
Budaya KKN di era yang lalu telah melahirkan kekuasaan yang sentralistik. Jika budaya KKN yang negatif ini berlanjut maka akan terjadi krisis sosial, ekonomi, dan politik. Terjadi proses pemiskinan pada sekelompok besar masyarakat. Sebaliknya terjadi proses pengkayaan terhadap sebagian kecil kelompok masyarakat. Di bidang hukum, di era Orde Baru, tidak berlaku bagi penguasa. Supremasi hukum tidak dapat ditegakkan. Masyarakat madani Indonesia yang diharapkan adalah masyarakat yang memiliki kontrol terhadap kekuasaan.
Pendidikan dan Politik
Berbicara tentang pendidikan dan politik, pendidikan bukan dijadikan sebagai alat politik, sebagaimana terjadi di masa lalu (Orba). Pendidikan tidak terlepas dari politik, dalam arti bahwa ia membutuhkan komitmen politik dari semua elemen bangsa, dan sesungguhnya politik itu sendiri merupakan pendidikan. Menurut Aristoteles, tidak mungkin membicarakan pendidikan terlepas dari konsep kehidupan yang baik (good life)(yaitu politik). Di sini setiap individu memiliki persepsi sendiri tentang apa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik. Dengan demikian setiap orang akan memiliki konsep masing-masing tentang pendidikan, yang kemudian berarti pula bahwa pendidikan terletak dalam tatanan politik.
Reposisi Perguruan Tinggi
Dalam buku ini yang membahas mengenai Reposisi Perguruan Tinggi disebutkan pula mengenai “kegilaan” terhadap penggunaan gelar akademik yang tidak pada tempatnya. Penulis buku ini mengungkapkan perlunya kalangan kampus untuk mengedepankan kapasitas dan produktivitas atas predikat dari gelar-gelar akademik. Dengan demikian secara alamiah masyarakat umum nantinya akan menilai gelar akademik sesuai dengan kreativitas dan karya yang diberikan dari orang yang menyandang gelar tersebut.
Kegemaran memburu gelar dipandang dari sisi positif sebagai usaha warga masyarakat untuk mencari pengetahuan dan keinginan untuk maju. Tinggal bagaimana pemerintah membina dan mengembangkan lembaga/perguruan tinggi yang ada, terutama yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Demikian pula mengenai penilaian kualitas suatu perguruan tinggi, disarankan agar penilaian diserahkan atau melibatkan masyarakat dan bukan monopoli dari birokrasi. BAN-PT dianggap memonopoli keabsahan kualitas suatu perguruan tinggi (prodi?). Seharusnya, justru partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dihargai sebagai bentuk sumbangsih anggota masyarakat terhadap pendidikan.
Poin-poin penting yang patut digarisbawahi dari pembahasan isi buku “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” ini antara lain:
- paradigma lama pendidikan dipandang tidak sesuai lagi dan harus digantikan dengan paradigma baru pendidikan yang:
- mengedepankan demokratisasi,
- partisipasi dari semua elemen,
- bersifat antisipatif,
- menghargai kebhinekaan,
- perencanaan yang baik,
- pelaksanaan manajemen yang efektif.
Prinsip-prinsip dasar dalam aktualisasi pendidikan nasional dengan paradigma baru adalah:
- Partisipasi masyarakat dalam mengelola pendidikan (community based education)
- Demokratisasi proses pendidikan
- Sumber daya pendidikan yang profesional
- Sumber daya penunjang yang memadai
KESIMPULAN
1. Reformasi pendidikan untuk menghindari terjadinya “lost generation”
2. Desentralisasi di bidang pendidikan, sesuai tuntutan Otonomi Daerah harus dipersiapkan dengan baik, agar peserta didik tidak menjadi korban ketiadaan visi dan kelemahan kebijakan yg tergesa-gesa.
3. Implementasinya perlu disusun program yang komprehensif, bertahap, dan berkelanjutan
4. Perlu dimobilisasi para pemikir lintas ilmu, pemimpin masyarakat dan lembaga negara untuk merumuskan falsafah pendidikan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar