M. Iwan Satriawan
*Kader PMII &Dosen Hukum Tata Negara Universitas Lampung
FORMALISASI kegamaan kini sedang menjadi isu-isu strategis bagi kelompok kaum puritan yang menginginkan kembali pada Alquran dan hadis. Mulai dari penyeragaman ciri-ciri keislaman dengan jilbab, jenggot, dan jubah hingga pada pelaksanaan syariat Islam. Mulai dari pencantuman peraturan daerah (perda) syariah yang akhirnya dibatalkan oleh menteri dalam negeri hingga ekonomi syariah, termasuk juga bank-bank syariah.
Gerakan Wahabi
Formalisasi kegamaan ini sebetulnya bukan hal yang baru dalam sejarah peradaban Islam di Tanah Air. Jauh sebelum itu formalisasi keagamaan juga menjadi salah satu penyebab Perang Paderi di Sumatera Barat, yang lebih dikenal sebagai perang melawan pendudukan penjajah Belanda. Para paderi dikenal sebagai pahlawan yang dengan gagah berjuang/berperang membela Tanah Air.
Gerakan paderi berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif dengan Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-19. Ketika itu Mekah dan Madinah dikuasai kelompok Wahabi.
Terpesona oleh gerakan Wahabi, sekembalinya ke Indonesia Haji Miskin dkk. berusaha melakukan gerakan pemurnian sebagaimana dilakukan Wahabi, yaitu dengan memvonis tarekat Syattariah dan tasawuf—telah hadir di Mingkabau beberapa abad sebelumnya—sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi. Dalam tarekat tersebut, dinilai banyak bercokol takhayul, bidah, dan khurafat yang harus diluruskan dan diperangi (The Wahid Institute, 2011).
Hal tersebut kemudian ditentang habis-habisan oleh Tuanku Nan Tuo, guru Tuanku Nan Renceh. Alhasil, gerakan paderi tersebut hilang dengan sendirinya akibat penjajahan Belanda dan bertentangan dengan suasana, tradisi, dan budaya bangsa Indonesia.
Proyek Saudi Arabia
Namun, akhir-akhir ini muncul kembali gerakan Wahabi melalui kaki-tangannya di Indonesia semacam LDK (Lembaga Dakwah Kampus), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan sebuah partai politik. Gerakan mereka lebih terkoodinasi dan rapi. Mereka juga mendapat pendanaan tanpa batas dari Pemerintah Saudi Arabia.
Tidak kurang dari 500 juta dolar AS siap disalurkan Pemerintah Saudi Arabia melalui jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk progam pembangunan non-APBN/APBD, khususnya untuk infrastruktur pendidikan (The Wahid Institute, 2011).
Siapa yang tidak tergiur dengan dana sebesar itu untuk pembangunan pendidikan?
Hal inilah sebagai salah cara masuknya paham-paham formalisasi agama dengan mengenyampingkan budaya-budaya lokal yang sudah tumbuh dan berkembang dengan begitu baik di Indonesia. Tujuan akhir dari penyebaran paham-paham formalisasi Islam adalah pembentukan satu khalifah di dunia yang notebene akan berkiblat pada pemerintahan Saudi Arabia.
Jika umat Islam di Indonesia tidak segera menyadari hal ini, budaya-budaya lokal yang sudah tumbuh dan berkembang di berbagai belahan Nusantara akan terkikis habis dengan budaya-budaya Arab semacam jenggot, jubah, dan jilbab.
Padahal, Allah swt sendiri dalam salah satu ayat Alquran telah berfirman, "Tidaklah Aku ciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, lelaki dan wanita untuk saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling bertakwa kepada-Ku."
Merujuk kutipan ayat tersebut kemudian dihubungkan dengan kondisi kekinian mengenai formalisasi keagamaan kita, sepertinya perlu ditinjau ulang perihal apa yang telah ada saat ini. Bukan tidak mungkin jika kita lengah, NKRI dengan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa akan hilang diganti dengan asas Islam. Dampaknya akan terjadi disintegrasi bangsa sebagaimana terjadi di Sudan Utara yang mayoritas Nasrani dan Sudan Selatan yang mayoritas Muslim. Negara yang dahulu terkenal dengan para penyair dan tokoh agama semacam Abdullah Ahmed An-Naim itu pun pecah menjadi dua bagian.
Pendiri Bangsa
Tidakkah menjerit dan menangis Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, K.H. Wachid Hasyim, dan para pendiri bangsa lain yang telah berjuang menepiskan ego mereka demi kesatuan dan keutuhan bangsa dengan menghapus Piagam Jakarta? Menghapus hukum Islam sebagai dasar negara dengan Pancasila yang egaliter dan sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Akankah kita akan menjadi Yugoslavia kedua, Cekoslavakia, atau India yang akhirnya pecah menjadi negara-negara kecil karena meninggikan ego dan menolak keberagaman? Jawabannya adalah pada diri kita sendiri.
Sumber : http://www.lampungpost.com/opini/21614
mantaaap artikelnya mas...
BalasHapus