Kamis, 23 Februari 2012

Formalisasi Hukum Islam

M. Iwan Satriawan
*Kader PMII & Dosen Hukum Tata Negara Universitas Lampung

 

INDONESIA adalah negara hukum rechtstaat, bukan negara kekuasaan (machtsaat), sebagaimana tertuang dalam bunyi UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, sudah menjadi suatu kewajiban bahwa setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahannya selalu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Negara hukum yang dimaksud di sini bukan hanya merupakan pengertian umum yang dapat dikaitkan dengan berbagai konotasi, bukan hanya rechstaat dan rule of law sebagaimana dipraktekkan di Barat, juga nomokrasi Islam dan negara hukum Pancasila yang dipraktekkan di Indonesia.
Namun, Indonesia juga bukan negara yang menganut paham teokrasi yang berdasarkan penyelenggaraan negaranya pada agama tertentu saja. Menurut paham teokrasi, negara dan agama dipahami sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Tata kehidupan masyarakat, berbangsa, dan negara dilakukan dengan titah Tuhan dalam kehidupan umat manusia.
 

Oleh karena itu, paham ini melahirkan konsep "negara agama" atau agama resmi dan dijadikannya agama resmi tersebut sebagai hukum positif. Konsep negara teokrasi ini sama dengan paradigma integralistik, yaitu paham yang beranggapan bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
RI Bukan Sekuler
 

Pada tataran lain, Indonesia juga tidak menganut negara sekuler yang mendisparitas agama atas negara dan memisahkan secara diametrik antara agama dan negara. Paham ini melahirkan konsep agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda dan satu sama lain memiliki wilayah garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.
Namun, relasi antara agama dan negara di Indonesia dikemas secara sinergis, bukan dikotomis yang memisahkan antara keduanya. Agama dan negara merupakan entitas yang berbeda dan keduanya dipahami saling membutuhkan secara timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama, sebaliknya negara juga membutuhkan agama karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualiatas. Pemahaman seperti ini disebut dengan "paradigma simbiotik" (Hasyim Muzadi: 2006).
 

Dalam konteks keindonesiaan paradigma simbiotik ini, kedudukan hukum Islam menempati posisi strategis sebagai sumber legiitmasi untuk menegakkannya dalam porsi yang proporsional. Bukan dengan formalisasi-legalistik melalui institusi negara sebagaimana disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua Front Pembela Islam (A. Rahmat Rosya, 2006:20).
Dengan demikian, sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang bukan berdasar pada agama tertentu, tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum atau memberi bahan hukum terhadap produk hukum nasional.
 

Hukum agama sebagai sumber hukum di sini diartikan sebagai sumber hukum materiel (sumber bahan hukum), bukan harus menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu) menurut peraturan perundang-undangan. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia memiliki prospek dalam pembangunan hukum nasional, karena secara kultural, yuridis, filosofis, maupun sosiologis memiliki argumentasi yang sangat kuat.
Akuntabilitas Publik
 

Penerapan atau positivisme hukum Islam dalam sistem hukum nasional setidaknya melalui dua langkah, yaitu proses demokrasi dan prolegnas (akademisi), bukan indoktrinasi. Dalam proses demokrasi ada musyawarah mufakat yang kemudian dituangkan dalam proleganas (progam legislasi nasional).
Selanjutnya, untuk menjadi hukum positif diperlukan kajian mendalam melalui naskah akademik karena menyangkut tinjauan dari berbagai macam aspek, baik sosiologis, politis, ekonomis, dan filosofis. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 sebagaimana sudah diubah menjadi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
 

Seiring dengan berjalannya waktu, ada beberapa norma-norma hukum Islam yang sudah menjadi hukum positif. Norma hukum Islam yang bisa menjadi hukum positif adalah apabila berkaitan dengan akuntabilitas publik atau tanggung jawab publik, seperti undang-undang tentang zakat, wakaf, haji, peradilan agama, bank syariah, dan kompilasi hukum Islam (KHI), bukan undang-undang tentang wajib berpakaian secara islami dan yang berhubungan dengan ibadah maudhoh (hubungan langsung dengan Sang Khalik) seperti salat dan puasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar