Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Alumni PMII& Wakil Sekretaris LP Ma`arif Provinsi Lampung
Menarik sekali membaca tulisan sahabat Nurcholis (Radar Lampung, 29/11) dan Gunawan Handoko (Radar Lampung, 12/12) tentang guru. Bicara mengenai guru, sepertinya kita perlu memulai dari upaya-upaya bersifat menggugah.
Maklum, ini masalah laten yang setiap saat muncul dan tak pernah ada akhirnya. Permasalahan manajemen guru serta pendidikan memang kompleks dan dinamis.
SECARA konsep, paling tidak ada tiga isu utama pendidikan. Yakni, pemerataan kesempatan, kualitas, dan relevansi. Beberapa pihak menyebut sebagai strategi dasar yang harus dilakukan dan menambahkan beberapa isu strategis lainnya.
Dalam sistem pendidikan formal, guru dapat dipandang sebagai subsistem pendidikan yang perannya sangat vital. Memperbaiki atau meningkatkan kualitas pendidikan jelas menyangkut perbaikan pengelolaan dan kinerja guru.
Dengan perspektif konstelasi permasalahan seperti itu, maka perbaikan dalam pengelolaan dan peningkatan kinerja guru diharapkan menyentuh ketiga isu utama. Dalam kosakata pendidikan, prasyarat bagi ukuran pelaksanaan tugas guru adalah kompetensi yang meliputi pedagogik, akademik, sosial, dan profesional. Seperangkat kompetensi tersebut harus mewujud dalam perilaku dan budaya kerja guru.
Meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan keahlian guru secara teoritis akan meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan kemudian meningkat pula prestasi belajar siswanya. Ini dapat diartikan meningkatnya kualitas pendidikan sekaligus relevansi atau keterkaitan nyata antara pendidikan dengan dunia usaha.
Guru Sejahtera, Kinerja Meningkat?
Memperbaiki kesejahteraan guru memang penting. Tapi harus didasarkan pada model yang baku, aturan jelas, dan diimplementasikan secara konsisten. Yang dituntut para guru terutama non-PNS terkait kesejahteraan jangan diartikan hanya imbalan berupa uang. Para guru non-PNS yang sebagian besar berpendapatan di bawah UMR memang suatu kenyataan yang memprihatinkan. Apalagi yayasan tempat mereka bekerja terlihat bergelimang sarana dan menumpuk kapital (meminjam istilah Nurcholis). Kita tidak perlu membandingkan dengan pendapatan guru berpredikat PNS dengan masa kerja nol tahun.
Jadi yang terutama adalah prinsip kesetaraan, keadilan, dan transparansi. Ini mengindikasikan pentingnya perlindungan dan kepastian. Sejahtera tidak diartikan lahiriah semata, tapi lahir dan batin.
Pertanyaan yang sampai sekarang masih dilakukan kajian mendalam adalah efektivitas program sertifikasi bagi guru. Harus diakui bahwa memang pemberian status guru profesional, dengan implikasi pemberian tunjangan, tidak serta meningkatkan kinerja guru. Secara kasuistik ditemui adalah dampak yang kontraproduktif dengan tujuan sertifikasi. Seperti kecenderungan sikap materialistik, persepsi diri yang keliru, menganggap dirinya sudah profesional, dan yang belum sertifikasi tidak profesional.
Pertanyaan sederhana layak diajukan bagi guru yang berstatus guru profesional yang memperoleh tunjangan profesi. Apakah kesejahteraan guru yang meningkat (dengan tunjangan profesi yang diterimanya) pasti akan meningkatkan kinerja guru? Jawabannya bisa ya, juga tidak.
Jawaban ya, jika guru memiliki kesadaran akan jati diri sebagai pendidik yang mengemban tugas mulia serta menghargai profesi yang harus ditingkatkan harkat dan martabatnya. Dengan peningkatan kesejahteraan dalam arti material, ia akan berusaha mengembangkan profesinya melalui pengembangan diri. Ia dengan senang hati menambah pengalaman melalui berbagai bahan bacaan, mengikuti kegiatan ilmiah, dan aktif dalam komunitas atau organisasi profesi. Ia semakin aktif, proaktif, serta mengenali dan memahami anak-anak didiknya. Singkatnya, ia secara terus-menerus antusias memberdayakan diri demi kemajuan profesi.
Jawaban tidak, jika guru memiliki konsep materialistik. Ia akan semakin meyakini bahwa setiap tindakannya harus menghasilkan uang. Tugas-tugas pokok, akan dicari alasan sebagai tugas tambahan, dan lagi-lagi akan dikaitkan dengan uang. Ia akan menjadikan sekolah sebagai pasar, dengan dalih ’’wirausaha’’. Pendidikan wirausaha disalahartikan sebagai mencari keuntungan, bukan sebagai usaha membekali anak-anak didik dengan seperangkat pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan menghadapi situasi masa depan. Dengan kata lain, disiplin kerja akan menurun, gemar mencari kambing hitam untuk setiap kesulitan.
Guru adalah agen pembelajaran yang merupakan motivator, pemicu, dan pemacu belajar siswa. Dalam tugasnya, guru harus memiliki semua penjabaran kompetensi guru, sejak perencanaan pembelajaran, penampilan keseharian, dan komunikasi serta interaksi sosial.
Secara universal guru adalah agen budaya dan pembangunan bangsa. Ia mendidik anak-anak generasi muda sebagi penerus bangsa. Setiap bangsa akan membekali generasi mudanya dengan pendidikan yang terbaik. Dan di sinilah peran, dedikasi, dan kontribusi terbesar guru.
Pemerataan Guru dan Sarana
Isu kesenjangan penempatan guru sebenarnya sudah mencuat sejak beberapa tahun lalu. Pemerataan guru antarwilayah bisa dilakukan sejak perencanaan penyusunan formasi. Tapi yang terjadi, bertahun-tahun, terjadi penumpukan guru di daerah tertentu, sementara di daerah lain kekurangan. Dampak yang terasa adalah ketika banyak guru kekurangan jam mengajar, sedangkan di daerah yang kekurangan guru, jam mengajar guru bertumpuk. Ketika ada kewajiban minimal jam mengajar 24 jam, guru disibukkan dengan ’’mencari’’ sendiri di sekolah-sekolah lain yang masih tersisa jam mengajarnya.
Pemerataan guru baik antarwilayah maupun kelompok mata pelajaran, sesungguhnya menjadi faktor makin terbukanya kesempatan pendidikan bagi sebagian besar masyarakat. Sekaligus relevansi dalam proses dan output pendidikan. Pemerataan penempatan guru terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana. Di beberapa daerah yang kekurangan guru, umumnya juga terbatas sarana dan prasarana pendidikan formal.
Memberdayakan Bukan Memperdaya
Meski demikian, penulis yakin dengan usaha bersama pemerintah dan komponen masyarakat, terutama pengelola yayasan, peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui perbaikan pengelolaan guru. Kita hendaknya memahami profesi guru secara utuh. Hak-hak sebagai guru harus ditegakkan. Guru tidak disibukkan dengan urusan yang bukan urusannya, agar guru dapat memfokuskan diri pada profesinya.
Perhatian, penataan, pembinaan, dan pengembangan profesi guru yang menjadi kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah, perlu komitmen dan konsistensi sehingga dapat menyentuh semua guru. Bagi guru, memberdayakan diri adalah perjuangan, baik secara pribadi maupun berkelompok. Banyak tantangan dan hambatan untuk meraih perubahan itu. Kita tidak perlu alergi dengan perubahan, bahkan perlu berubah ke arah yang lebih maju.
Menyimak tulisan sahabat Nurcholis dan Gunawan Handoko, ada nada gugatan terhadap tatanan yang sekarang. Ada tuntutan reformasi dalam manajemen guru; dari paradigma memperdaya ke memberdayakan. Sekali lagi, semua kembali kepada kebijakan pemerintah dan semangat dari diri guru untuk berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar