M.Iwan Satriawan (Alumni PMII & Dosen Hukum Tata Negara
Universitas Lampung)
GELOMBANG demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat seakan tiada henti menjelang rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) awal April lalu.
Di daerah maupun di pusat (baca: Jakarta), aktivis mahasiswa, buruh, fungsionaris dan kader partai politik, serta wakil kepala daerah ikut berdemonstrasi. Hal ini tampak pada Wakil Wali Kota Surabaya Bambang D.H. dan Wakil Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo.
Merasa gerah dengan tingkah pola bawahannya di daerah yang tidak menjalankan asas kepatutan yang diemban daerah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengeluarkan ancaman akan menindak kepala daerah yang mendukung aksi demo menentang kenaikan harga BBM. Sanksi terberat adalah pemecatan sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Namun, para wakil kepala daerah tersebut bukannya malah surut. Mereka justru menantang secara terbuka Mendagri untuk menggunakan instrumen yang melekat kepadanya untuk melaksanakan ancamannya tersebut.
Kepemilikan Kepala Daerah
Jika ditinjau dari segi hukum tata negara, apakah yang telah dilakukan oleh beberapa wakil kepala daerah selama ini dapat dikatakan melanggar undang-undang sehingga layak untuk dipecat? Menurut penulis, setidaknya ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk mejawab hal tersebut.
Pertama, sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Dilaksanakannya Pilkada Langsung, maka kepemilikan kepala daerah menjadi setengah dimiliki pusat. Ini sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 20. Sementara setengahnya lagi adalah milik daerah karena dipilih secara langsung oleh rakyat, bukan oleh DPRD atau presiden.
Sehingga, dalam hal ini kepala daerah dapat melaksanakan instrumen yang ada kepadanya, yaitu terdapat pada Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 dan UUD 1945 Pasal 28. Di sinilah akar kekacauan pemerintahan di mana Pemerintah Pusat sudah kehilangan wibawanya di daerah.
Hal ini dapat dicontohkan kasus yang melanda Wali Kota Bogor Diani Budiarto dalam kasus GKI Yasmin. Kebijakan Wali Kota Bogor itu jelas-jelas melanggar kebebasan beragama bagi setiap penduduk Indonesia sebagaimana dijamin konstitusi. Kita bertanya balik, apakah ketidakpedulian Pemerintah Pusat (baca: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) atas tindakan Wali Kota Bogor itu bukan merupakan tindakan tidak mendidik dari Pemerintah Pusat?
Bukankah dengan kejadian ini justru Presiden SBY-lah yang telah membuat sejarah hitam dalam catatan kebebasan beragama di NKRI ini? Dalam Pasal 29 UUD 1945 disebutkan, negara menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan menjalankan ibadahnya itu bagi setiap warga negaranya. Pelaksanaannya dibebankan kepada pimpinan bangsa dan negara, yakni Presiden.
Alasan Pemberhentian
Kedua, dalam hal penghentian jabatan kepala daerah. Jika mengacu pada Pasal 123 Ayat 1,2,3 dan 4 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dijelaskan bahwa kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan.
Mengenai frasa diberhentikan ini apabila kepala daerah terbukti melanggar sumpah jabatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 101 PP No. 6 Tahun 2005. Dan, hal ini tanpa persetujuan DPRD, Presiden dapat memberhentikan kepala daerah apabila dinyatakan melakukan tindak pidana yang dihukum minimal 5 tahun atau lebih. Namun, jika tidak, pemberhentian kepala daerah harus melalui usulan DPRD bahwa kepala daerah dianggap melanggar sumpah jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya.
Ketiga, Pasal 7 Ayat 6 UU 22/2011 tentang APBN 2012 yang menyatakan bahwa harga jual BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Berkaca pada bunyi undang-undang ini, apa yang telah dilakukan wakil kepala daerah adalah dalam rangka menjalankan amanat undang-undang. Senyampang bunyi undang-undang ini belum diubah maka tindakan wakil kepala daerah dapat dibenarkan.
Pusat Tidak Berdaya
Dari fenomena tersebut di atas, ketidakberdayaan Pemerintah Pusat dalam mengelola pemerintahan daerah adalah inti dari disharmoni ini. Pemerintah Pusat tidak tegas dan tanggap dalam menjalankan amanat undang-undang. Baik mengenai pemberantasan korupsi hingga tanggung jawab dalam menyejahterakan rakyat.
Seharusnya, kenaikan harga BBM memang tidak serta merta, melainkan setahap demi setahap dan dilakukan pertahun sehingga tidak menimbulkan gejolak di kalangan grass root (akar rumput). Dan, hal ini juga harus diringi dengan kinerja pemerintah yang bersih dan baik, khususnya mengenai penegakkan hukum dan memberantas kemiskinan. sumber : http://www.lampungpost.com/opini/31252-ancaman-mendagri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar