oleh : Arief Fauzi Marzuki (Sekretaris PW GP ANSOR DIY)
PERISTIWA ledakan yang terjadi di Pesantren Umar Bin Khattab (UBK), Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pimpinan Abrori yang diduga mengajarkan teorisme, men coreng lembaga pendidikan Islam yang paling kuno di negeri ini.
Pesantren yang kebanyakan dihuni oleh para kiai dan santri warga nahdliyyin yang notabene sebagai pendiri bangsa ini, sangat dirugikan dengan kejadian di Pesantren UBK tersebut. Pesantren ternyata saat ini dimanfaatkan oleh para kelompok-kelompok yang ingin mengajarkan terorisme, melawan Negara dan ingin menghancurkan NKRI.
Pada Senin 11 Juli 2011, terjadi ledakan yang menewaskan Firdaus, seorang guru, di Ponpes Umar bin Khattab. Pihak kepolisian belum bisa memastikan apakah korban tewas akibat ledakan atau sebab lain. Sedangkan pihak UBK melarang polisi melakukan penyelidikan lebih lanjut. Bahkan para santri berusaha menghadang polisi untuk masuk pesantren.
Ketertutupan dan ketidakakomodatifan dengan masyarakat dan pihak aparat menunjukkan pesantren UBK bukan seperti pesantren yang bertradisi di Indonesia. Masyarakat pun paham, bahwa pesantren tersebut bisa dipastikan bukan pesantren yang ada dalam tradisi nahdliyyin.
Pesantren adalah bentuk pendidikan asli Indonesia, yang kehadirannya penuh dengan semangat patriotisme kepada Tanah Air. Bukan malahan merongrong keberadaan NKRI, yang susah payah diperjuangkan oleh para sesepuh kita dari pesantren.
Pesantren merupakan pendidikan Islam tertua. Lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pesantren juga merupakan media pendidikan seiring masuknya Islam ke Indonesia sejak abad ke 13 M dan mengalami pertumbuhan yang signifikan pada abad-abad berikutnya hingga menjadi agama mayoritas.
Pesantren merupakan pendidikan asli Indonesia yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai lokal, baik fisik maupun tata nilai dengan keislaman sehingga berpadu pada Islam Nusantara yang toleran dan moderat, yang menjadi ciri utama dan khas pesantren Ahlussunnah waljamaah (Aswaja) yang banyak dikelola para ulama Nahdliyyin.
Kemampuan adaptasi ini membuat pesantren dengan mudah diterima oleh masyarakat. Kehadirannya tidak mengganggu tradisi yang ada, sehingga pesantren tidak sekadar menjadi budaya pendidikan, tetapi telah menjadi subkultur tersendiri, menjadi suatu lembaga sosial-budaya yang utuh dan menjadi rujukan masyarakat dalam berpikir dan bertindak.
Kesuksesan tersebut tidak bisa dilepaskan dari penyebar Islam Nusantara dalam mendialektikkan budaya dan agama hingga keduanya bertemu dan saling mengisi. Di sini pesantren punya peran yang kuat di masyarakat Seperti pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. (Imam Jazuli: 2011).
Keberhasilannya menciptakan tradisi belajar antara kyai-santri dalam sebuah komplek pondokan, masjid, rumah kyai atau pengasuh, ditiru berbagai kelompok Islam yang ada di Indonesia. Bahkan, tidak bisa dipungkiri Kementerian Agama RI juga pernah menggunakan model pendidikan seperti pesantren dalam rangka mempunyai bibit unggul dalam belajar keagamaan, seperti program Madrasah Aliyah Program Khusus (MA PK).
Tantantangan Radikalisme
Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali mengingatkan, umat Islam Indonesia dan kaum santri, pada khususnya, sedang dihadapkan pada dua persoalan besar, yaitu serbuan radikalisme Islam atau fundamentalisme agama di satu sisi dan disisi lain, menghadapi fundamentalisme pasar bebas yang dikenal dengan liberalisme.
Mereka sama-sama fundamentalis, membawa ideologi keras yang tidak bisa dikompromikan dengan budaya setempat. Pertarungan ideologi tersebut memberi andil besar terhadap terjadinya krisis di berbagai bidang kehidupan.
Pesantren juga mengadopsi mo dernitas, meskipun bukan tanpa risiko. Penerimaan budaya modern tanpa reserve dapat menimbulkan kehilangan orientasi, sedangkan penolakan mentah-mentah akan menjadi beku dan kehilangan arah. Prinsip yang dipegang pesantren adalah al muhafadzatu alal qadimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yang artinya mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Ini merupakan jalan tengah strategi pengembangan kebudayaan yang ideal.
Pesantren, sebagaimana diajarkan oleh para ulama, memiliki relevansi tersendiri dalam menghadapi ancaman kedua macam fundamentalisme ini. Prinsip dan strategi para ulama dan kiai pesantren masih relevan dalam menghadapi krisis identitas saat ini. (NU Online,26/6).
As’ad Ali juga berharap agar umat Islam melakukan evaluasi paradigma pengembangan Islam dan sosial yang dilakukan selama ini, agar sesuai dengan paradigma yang dibangun para ulama terdahulu, dan pesantren bisa menjadi pusat pengembangan budaya, bukan sekadar menjadi konsumen budaya dan pemikiran dari luar.
Dalam situasi dunia yang sedang kacau seperti ini, semestinya kalangan pesantren Indonesia mam pu memberikan berbagai solusi, bahkan alternatif agar tercipta kehidupan dunia yang lebih harmoni dan lebih sejahtera.
Peristiwa di pesantren UBK ini, menjadi pelajaran yang penting bagi pemerintah juga masyarakat luas untuk melakukan koreksi. Untuk yang akan menyantrikan putra-putrinya di pesantren. KH Hasyim Muzadi menyarankan secara sederhana; yaitu dilihat siapa kyainya yang mengasuh, kitab-kitab apa yang diajarkannya, bagaimana para alumninya berkiprah di masyarakat. Kalau tidak diketahui sebelumnya, bisa-bisa anak kita masuk ke dalam kelompok Radikal tapi berbaju pesantren. Wallahua’lam
sumber : http://radarlambar.co.id/opini/6354-pesantren-dan-tantantangan-radikalisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar